Aktivis Lingkungan Satu Suara Tolak RUU Pilkada

Beberapa aktivis lingkungan di Kota Yogyakarta satu nada menyebutkan menampik pengesahan Rancangan Undang-Undang Pemilu Kepala Daerah yang dinilai akan meneror hari esok lingkungan perkotaan sampai pedesaan. " Bakal makin banyak product hukum daerah yang tidak pro-lingkungan lantaran jadi proyek bancakan elite pemerintah serta DPRD, " kata Suparlan, aktivis Wahana Lingkungan Hidup Kota Yogyakarta, pada Tempo, Ahad, 14 September 2014.

Suparlan mencatat di masa otonomi daerah yang sampai kini di dukung penentuan segera saja masih tetap marak praktik transaksional pada legislatif serta pemerintah dalam membuat ketentuan daerah. Umpamanya, masuknya pasal-pasal siluman hasil pesanan elite untuk merekayasa pengaturan ketentuan Gagasan Tata Ruangan Lokasi.

" Bila elite DPRD-nya dapat diakui tidak permasalahan. Lha, saat ini siapa yang dapat yakin DPRD dengan adanya banyak praktik transaksional yang sering mencuat, baik waktu kampanye atau saat mereka bekerja, " kata Suparlan. RUU Pilkada dinilai Suparlan tidak sebatas bentuk kemunduran demokrasi, namun juga ancaman perihal keadaan lingkungan yang lestari ke depan sesuai sama peruntukannya.

" RUU Pilkada bakal mendorong terjadinya rusaknya lingkungan lebih kolektif. Tidak ada yang dapat mengawasi rekam jejak calon pilihan partai, apa perusak lingkungan atau tidak, " kata dia. Aktivis pelestarian sungai dari Komunitas Kota Hijau Yogyakarta, Totok Pratopo, mengecam hadirnya RUU Pilkada lantaran bakal bikin jarak lebih lebar pada komune pemerhati lingkungan dengan kepala daerah serta legislatif.

" Kepala daerah yang diambil DPRD itu pasti orang pertama yang bakal membuat perlindungan kebutuhan kelompok pemilihnya hingga susah dikontrol kebijakannya, " kata dia. Berkaca dari bagian perlindungan sungai di Yogya, Totok lihat banyak tindakan jual beli tempat di bantaran yang meneror sungai yang notabene masih tetap susah dikendalikan pemerintah.

Beragam tekanan dari orang-orang, termasuk juga membuat tim ingindali lokasi sungai supaya tidak digerus perkembangan permukiman yang semakin padat, seakan mental tidak terakomodasi. " Terlebih bila kepala daerah diambil DPRD, makin tidak digubris tekanan orang-orang kelak, " kata dia.